Blogroll

Tiada balasan yang lebih baik keculai bisa diizinkan untuk menatap Dzat Nya

Jumat, 07 Oktober 2011

Apa yang Ibu Fikirkan?


Ketenangan Hati

Jauh dari rumah sudah menjadi hal yang bisa bagi kita. Alasan kuliah dan pekerjaan di luar kota yang mungkin seringkali menguatkan langkah kita untuk jauh dari orang-orang yang ada di rumah. Disaat kita ingin merantau pergi jauh untuk mencari uang dan demi kehidupan yang layak, disisi lain orang tia ingin sekali kita selalu ada di pangkuannya. Bergelut dengan waktu dan kesibukan membuat lupa akan mereka. Apalagi sekarang lagi susah-susahnya mencari lapangan pekerjaan dan pendidikan, makannya jika ada kesempatan kerja sedikit saja, walaupun itu jauh dan mungkin dengan resiko akan lama di perantauan, maka tak jarang orang melepaskan kesempatan ini (kebanyakan). Dalihnya simpel, berawal dari rasa ingin mandiri dan tidak merepotkan orang tua (termasuk kuliah, harapannya setelah kuliah dapat kerja yang bergaji gede) kemudian untuk persiapan masa tua. 
Kalau boleh mengutip perkataan guru SMA, "jaman sekaraang, kebanyakan UUD, ujung-ujungnya duit. Sekolah capek capek cari ilmu kmudian intinya pengen dapat kerja yang layak dan dapat duit". Mungkin benar juga, di sekitar kita banyak sekali fenomena yang bisa menjabarkan kalimat diatas, mulai dari profesi penyamun dengan tampilan garangnya, guru dan dosen dengan didikasinya, presiden dengan kepemimpinannya, pekerja bangunan dengan otot besar dibawah terik matahari, sampek pada tukang ojek yang selalu aktif dimalam hari. Itu semua mereka usahakan (salah satunya) untuk mendapatkan uang agar sesuap nasi itu bisa terbagikan di keluarganya (atau untuk dirinya sendiri). Wah, sulit juga ya, mengejar ekonomi yang tidak tentu fluktuasinya serta tuntutan kudu 'pinter' dalam menyeimbangkan penghasilan dengan kebutuhan (berarti arga pasar juga berpengaruh). Kadang pendapatan banyak, tapi pas di bulan Ramadhan yang harga pasar melambung tinggi.,, yang jelas banyak lah faktornya............ Susah juga.

Kembali ke rumah.
Teringat sebuah kisah seorang mahsiswa yang sering pulang pergi dari rumah ke kampus. Bolak baliknya dia kerumah sudah ia lakukan semenjak smester 2 setelah selesai dari sibuk sibuknya ikut pengaderan senior jurusannya. Yah, walau pulang dengan ongkos pas-pasan dan dengan 5 s/d 6 jam tempuh, ia lakoni demi keinginannya untuk menemui adek juniornya di SMA. Selama kurun waktu 5 smester,  kebiasaan itu masih berlanjut tanpa adanya rasa ataupun beban dalam benaknya. Kelelahan, waktu belajar menjadi berkurang, uang jajan tinggal sedikit, sibuk, tambah persoalan malah menjadi tabungan penghibur disaat kesepiannya. Ia fikir segala kesulitan yang ia alami tidak akan berdampak pada orang lain selama ia sendiri bisa menyelesaikannya, walau dalam kurun waktu yang lama.
Setiap kali dia pulang, tidak ada hal yang mengganjal yang ia rasakan. Pulang dengan sambutan orang tuanya dan sesajian di meja makan adalah hal yang sudah sering ia alami.
Suatu saat ketika ia akan kembali ke kampus, ia tidak mendapati kedua orang tuanya dirumah dikarenakan  mereka sedang  pergi  kepasar. Dia takut untuk berpamitan, dia takut kalau ia mengganggu aktufitas orang tuanya. Dikarenakan adanya agenda dadakan di kampus, tanpa berfikir pannjang dan tanpa berpamitan kepada kedua orang tua, dia langsung kembali ke kampus dengan angan-angan pamitannya bisa via phone setelah diperkirakan ayah dan ibunya sudah tidak sibuk lagi dan sudah pulang dari  pasar. Sekitar mendekati kampus tujuan, tiba-tiba hp nya bergetar dan dilihatnya ada sms yang masuk dari saudaranya, yang berbunyi, "kowe teko ngendi? telpuno-o mamak mu". Tanpa basa-basi ia menuruti instruksi tersebut. Pencet nomor, angkat hp. 
"Hallo assalamu'alaykm"
"wa'alaykumussalam"
"Pak, aku wes teko Jombang, sediluk maneh insya Allah teko kampus" kebetulan yang mengangkat hp adalah ayahnya. 
" yo le",
"wonten nopo to pak, kadosan mamak madosi?" tanya anak itu ke bapaknya yang ngangkat telpon tadi. 
"ngene le... kowe mau nyapo kok ora pamitan karo mamakmu. Yo nyatok aku karo mamak saiki ora iso nyangoni awakmu, tapi yo jo ngono to le, ora pamitan... mbok yo pamitan. Kae rungokno, mamakmu nangis nggoleki awakmu. "
"injjih pak," dengan nada agak hilang. 
"yo wes ngono ae, ajo kok baleni maneh, assalamu'alaykum". 
"wa'alykumussalam pak".

Begitulah kisahnya, mungkin kalo percakapan sang ayah tadi dilanjutkan akan tambah terbongkar dan lebih mengerikan lagi perjuangan mereka untuk mendapatkan nafkah dan menghidupi keluarganya. Bisa kita ambil pelajaran dari sini:
1. Apapun yang terjadi, orangtua (kebanyakan ibu), selalu memikirkan kita, apalagi kita masih dalam keadaan jauh dari beliau. Memikirkan ini bisa dalam bentuk kekawatiran, sikap (yang ditunjukkan dengan kerjanya ortu kita untuk mencari uang guna kebutuhan kita), bahkan sampai sikap yang sering kita salah tafsirkan, "cerewet" dalam mengatur kita. Misalnya saat kita memilih jodoh, banyak sekali kriteria yang orang tua inginkan ,dan semuanya hampir mendekati sempurna, tidak cukup dengan keimanannya, (walaupun kita tahu ketika keimanan yang kita dapat, maka harta dan kepiawaian akan mengikutinya) kekayaan dan jabatan kadang kala diajukan sebagai syaratnya. Hal ini adalah bukti bahwa mereka masih sangat perhatian dan tidak ingin sesuatu yang biasa biasa untuk kita, tetapi sesuatu yang lebih (dan ujungnya agar kita bisa senang, karena mereka sudah mengalaminya).
2. Apapun yang tersirat dalam fisik ortu kita, belum tentu hal itu adalah yang sesungguhnya. Misalnya gini, ketika ortu kita marah, biasanya dalam benak hati beliau, beliau tidak ingin marah dan masih sayang sama kita. Buktinya begini, setelah marah beliau reda, sangat mudah banget bagi kita untuk meminta maaf dan segera mendapatkan maafnya.
3. Bukti kasih sayang ibu kita adalah, seringnya beliau "maksa" kita untuk makan, pulang cepat, jangan malam2, tidak boleh ini dan itu. Karena beliau sudah merasakan muda dan tua, sedangkan kita belum merasakan tua. Itulah salah satu tanda kekawatiran mereka saat kita tidak makan, tidak pulang cepat. Mereka sangat takut terjadi sesuatu yang tidak beliau inginkan.
4. Ketika kita pulang, tampakkanlah wajah ceria dan senyum seolah tidak ada permasalahan yang terjadi di luar sana terhadap kita. Walaupun sebenarnya buanyak sekali permasalah yang melanda diri kita.
5. Walaupun dalam fisik, ibu mengijinkan kita untuk pergi kuliah, sesungguhnya beliau berat untuk melepaskan, dan beliau mengharap kita cepat kembali kepangkuannya.
6. Seperti apapun kekurangan kita, orang pertama yang menerima keberadaan kita adalah orang tua.
7. Jangan segera mencurahkan permasalahan kita ke orang tua, walau hanya sekedar shearing. Jika permasalahn itu hanya menyangkut diri kita, maka diselesaikan terlebih dahulu sebelum ke ortu, kita bisa minta berbagai saran dan pendapat lewat saudara atau teman yang kita percayai. Mereka adalah opsi yang paling akhir untuk hal itu.
8. Turuti taklimatnya, sesungguhnya, taklimat (perintah) beliau adalah taklimat Allah yang disampaikan ke kita melalui mereka (selama tidak berbuat maksiat). "...Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya....” (Al Ankabut : 8)
9. Sikapilah marahnya orang tua karena kesalahan kita dengan rasa menyesal dan dengarlah semua perkataan mereka, jangan [ernah memotong pembicaraan beliau.
10. Sikapilah kekawatiran mereka dengan senyuman, dan katakanlah "iya bu". kalau perlu peluklah beliau.
11. Sejahat dan seperti apapun orang tua kita, tetap berlakukan mereka sebagaimana selayaknya orangtua kita. Sebagaimana sikap mus'ab bin umair terhadap ibunya.


"Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah : “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”  (Al Isra’ : 23-24)

Sadar atau tidak sadar, saat kita jauh dari orang tua sekarang, beliau sangat merindukan kita untuk pulang walau hanya sekedar sebuah senyuman dari kita dan memastikan kita baik baik saja. Kalau mereka tidak disibukkan dengan aktifitas mencari nafkah, mungkin setiap hari beliau akan menanyakan keadaan kita.
Bersyukurlah kita masih diizinkan oleh Allah untuk kesempatan sekali lagi berbuat baik kepada kedua orang tua kita.




Semoga bermanfaat, wallahua'lam...

3 komentar: